Thursday, July 21, 2011

Would gelatin and other pork derivatives considered as halal?

I'm still looking for fatwa from ulama who have deep understanding and  knowledge about chemistry, food processing, as well as sharia law.

Below originally posted by Rasheed Abdullaah on the Yahoo email group: West London Da'wah.
--------
As Salaam `Alaykum wa RahmatAllaah,

Concerning the issue of the pork in the frito-lays brand chips, more research needs to be done as to whether it is changed from one form or state to another. There is a fiqh principle known as istihala which states, "Ruling upon an object is upon what it is named (what it is), if the name (what it is) changes then so does the ruling."

This was principle was discussed in detail in a lecture by Shaykh Muhammad Bazmool (hafidahullah) , Professor at Umm ul Qura Makkah, based on a fatwa given by Shaykh Al-Albaanee (rahimahullah) on gelatin. The principle is also discussed by Ibn Hazm (rahimahullah) , the exponent of the Literalist school, in his manual Al Muhalla. As the Shaykh so perfectly described it in his lecture, "We must be careful when we call things haraam because it is a form of thulm (oppression) . Scholars have said that it is worse that you make something halaal to haraam rather than making something haraam to halaal. This deen of Allaah has been made yusr (easy) let us not make it 'usr (hard)."

I am not a scholar, nor do I like potato chips (frito-lays or any other) but we should get a fatwa from the `ulema on this before we make our own fatwa, because the enzymes used in these frito-lays come from pork, but they could have changed over in the chemical process to something entirely different, and so the ruling would now be different. Wallahu Ta'ala 'Alim.

The following is the transcription of the lecture given by Shaykh Muhammad Bazmool (hafidhahullah) :

The Fiqh Principle of Istihala – Changing from impure to pure


(Taken entirely from a dars given by Sh. Muhammad Bazmool, Professor at Umm ul Qura Makkah translated by Moosa Richardson and a fatwa given by Shaykh al-Albaani)

Istihala is when something becomes pure. It was najis (impure) but it is now taahir (pure). A good example would be maitah (animal carcass): it is najis, but should it be burned and become ashes, or decompose and become earth, then it is taahir, it is no longer najis. This can happen with dung or feces or whatever. Whenever something changes from one property to another, then the ruling likewise changes.

Example: Let us say that someone uses the fat of a dead animal to make soap. That fat is najis, but the chemical change that it was put through makes it taahir.

Ibn Hazm put it concisely when he said, "Ruling upon an object is upon what it is named (what it is), if the name (what it is) changes then so does the ruling."

He also mentioned in his book of fiqh, Al-Muhalla: "If the quality of the substance of naturally impure objects changes the name which was given to it so that it is no more applicable to it and it is given a new name which is given to a pure object, so it is no more an impure thing. It becomes a new object, with a new rule."

Meaning that if the natural composition of a substance changes to another substance of a different composition, so much so that you can no longer call the new substance by the name of what it was-- ruling upon that substance changes too.

Monday, July 18, 2011

German energy study offers framework for Japanese policy chaos

Jerman sudah menetapkan master plan untuk menjadi negara industri pertama yang bebas nuklir di tahun 2022. Di saat Jepang sedang memulihkan kepercayaan diri terhadap keamanan pembangkit nuklirnya, Perdana Mentri Kan mengeluarkan pernyataan senada, keinginan mewujudkan masyarakat Jepang yang bebas nuklir.

(click here to view full article)

Thursday, July 14, 2011

Innovation Depends on a Robust Manufacturing Sector

When too many companies outsource their manufacturing, the industrial ecosystem can suffer long-term consequences.
It's called moving up the economic value chain: U.S. companies are increasingly conceiving and creating products that are built elsewhere. Prosaic manufacturing, with its razor-thin profit margins and ruthless competition, has been outsourced to Asia. But researchers who study innovation are starting to see a worrisome after-effect: the ability to innovate sometimes disappears with the manufacturing.
(clik here to view original article)

Monday, May 30, 2011

Adakah masa depan Rare Earth Element di Indonesia?

Rare Earth Elements
China emang jago dagang. Ada 1 komoditi penting di dunia ini yang 97%-nya disuplai oleh China. Hebatnya, barang ini bukan barang biasa. Berkat adanya barang inilah produk-produk berteknologi tinggi dan ramah lingkungan semacam hybrid car lahir. Tidak heran, barang ini sangat dibutuhkan oleh industri manufaktur dunia di Jepang, Amerika, Jerman, termasuk dalam negeri China sendiri. 

Rare Earth Element sedang naik daun, termasuk perusahaan penambangnya, sebut saja Molycorp inc. yang berhasil meraup suntikan dana ratusan juta dolar dalam sekejap. Semua bermula dari isu China yang akan menyetop ekspor REE secara bertahap, dan disimpan untuk kepentingan dalam negerinya. Sejak tahun 2010 China mulai mengurangi ekspornya, dan genderang bisnis REE pun ditabuh. Negara-negara lain pun berlomba membuka tambang REE.
Amerika mengoperasikan kembali ladang tambang REE  di California yang telah terbengkalai selama 10 tahun. REE juga ditemukan di Afrika Selatan, Vietnam, Australia, India, dan yang terakhir Malaysia. Tidak mudah menambang REE, yang prosesnya juga beresiko memuntahkan zat radioaktif berbahaya. Ditengarai zat radioaktif inilah yang menyebabkan kelainan pada bayi dan 11.000 kasus leukimia di Bukit Merah, Malaysia.


Selain melalui pertambangan, REE juga bisa diperoleh melalui daur ulang. Harddisk dan kompresor udara pada AC adalah komponen yang kaya akan REE. Sayangnya, biaya untuk mendaur ulang barang-barang bekas sangat tinggi dan tidak ekonomis. Hanya negara seperti Jepang yang pemerintahnya sanggup mengucurkan dana 1 milyar dolar untuk membangun industri masa depan ini.

Bagaimana dengan di Indonesia? Pikir-pikir, apa sih kekayaan alam yang gak ada di Indonesia :)
Katanya nih, penelitian REE sudah lama dilakukan oleh PT. Timah, BATAN dan BAPETEN. Denger-denger REE di Indonesia banyak terkonsentrasi di taling pertambangan timah, seperti di Bangka Belitung. Harusnya, PT Timah udah punya laporannya, kawan-kawan ada yang tau?

Thursday, May 26, 2011

Cerpen tentang Saham

(C) acultura.org
Anda membuka usaha warnet dengan modal 500 juta. Anda belikan komputer, aksesoris, dan furniture. Anda sewa lokasi di jantung kota yang paling strategis, juga akses internet terkencang. Anda pun menggaji beberapa orang penjaga dan teknisi berkualitas. Popularitas warnet Anda segera mencuat, dan di tahun pertama, usaha warnet Anda membukukan untung bersih 100 juta.


BUT, tiba-tiba Anda ingin meninggalkan usaha Warnet.
So, Anda bersiap menjual warnet Anda ke pemilik baru. Berapa harga yang akan Anda tawarkan?
1. ~500 juta. Sesuai modal yang dulu Anda investasikan, dikurangi penyusutan harga aset2 : komputer, furniture yang tidak baru lagi.
2. 1 milyar. Karena Anda yakin usaha Warnet ini akan terus membukukan keuntungan, bahkan berpotensi menambah jumlah pelanggan

Berdasarkan ilmu Company Valuation, Anda putuskan harga 1 milyar.
Para calon pembeli menghubungi Anda, namun hanya sanggup menawarkan harga jauh di bawah ekspektasi Anda.

Akhirnya, Anda putuskan untuk membagi kepemilikan perusahaan kepada 4 orang, masing-masing menyetor 250 juta kepada Anda. Anda tetap mendapat 1 Milyar, namun warnet Anda menjadi milik 4 orang, dan tiap orang dikatakan memiliki Saham sebesar 25%.

Pada akhir tahun, laba bersih warnet pun harus dibagi rata kepada keempat pemilik tersebut. Jika warnet mengalami kerugian, keempat pemilik juga harus turun tangan mengatasinya. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.
Naas, di tahun kelima warnet itu harus ditutup. Makin berjamurnya Net Game Center membuat warnet itu kehilangan banyak pelanggan. Belum lagi banyak komputer bermasalah, pegawai yang mundur, dan manajemen yang buruk, membuat warnet itu terus merugi. Setelah semua aset dijual, dan semua kewajiban dan hutang dibayarkan, ternyata masih kurang 100 juta. Akhirnya keempat pemilik warnet itu pun harus menutupi utang tersebut, masing2 menyetorkan 25jt, tanpa sepeser pun modal yang kembali.

Rugi? Tentu saja.
Apakah mereka akan menuntut pemilik sebelumnya, dengan dalih perusahaan bangkrut setelah dijual? Tentu tidak, karena perusahaan menjadi sepenuhnya tanggung jawab mereka setelah dijual.

---

Next problem : So, gimana dengan praktek jual-beli saham?
Klo liat prakteknya orang jual-beli saham cuma untuk dapet keuntungan dari fluktuasi harga saham itu sendiri, gw cuma pengen bilang :


POOR YOU, GET A LIFE DUDE!